Cari di Blog Ini

Mulailah Konsumsi Pangan Alternatif


[JAKARTA] Masyarakat Indonesia harus mulai terbiasa untuk tidak lagi bergantung pada konsumsi beras dan tepung terigu yang sebagian besar pemenuhannya mengandalkan impor. Konsumsi pangan alternatif berupa diversifikasi atau penganekaragaman pangan menjadi pilihan yang tidak bisa ditunda.

Sesungguhnya banyak produk pangan lokal yang jika dikonsumsi bisa mensubtitusi nasi dan mie berbahan tepung terigu, seperti bihun jagung, makaroni jagung, mie sagu, makarina (makaroni ikan) dan surimi berbahan baku ikan air tawar seperti lele (Clarias Batracus) dan nila (Tilapia Musambicus).

Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Listyani Wijayanti membenarkan bahwa ketergantungan pangan dari beras dan pangan siap saji lainnya masih tinggi di masyarakat Indonesia.

"BPPT berupaya agar kita bisa membebaskan diri dari impor terigu yang saat ini mencapai 90 persen," katanya di sela bincang iptek di Jakarta, Jumat (25/11).

Perekayasa Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Indah Kurniasari yang menekuni penelitian mie berbahan tepung lokal dari jagung menyatakan diversifikasi pangan menjadi keharusan. Kandungan karbohidrat tepung pangan lokal ditemukan tidak jauh berbeda dari tepung terigu dari gandum.

Sebagai gambaran, data tahun 2010 memperlihatkan impor gandum 5,85 juta ton setara Rp 25 triliun dan 765.000 ton impor terigu. Baginya kondisi ini ironis di saat potensi ketersediaan singkong 22 juta ton, jagung 17 juta ton dan ubi jalar 2 juta ton per tahun.

"Pemanfaatan tepung lokal untuk mie didasari pertimbangan karena 50 persen terigu diperuntukan untuk mie, 29 persen roti dan sisanya kue. Konsumsi mie di Indonesia juga terbesar kedua setelah China," ucapnya.

Indah menuturkan, melihat potensi itu terdapat pasar mie yang menjanjikan dengan tingkat konsumsi 55 bungkus/kapita/tahun di segala lapisan masyarakat. Data World Instant Noodles Association 2011 mencatat konsumsi mie instan di Tiongkok tahun 2010 mencapai 42,3 miliar kemasan (bags/cups), Indonesia 14,4 miliar kemasan (bags/cups) dan Jepang 5,29 miliar kemasan (bags/cups).

Penyeragaman konsumsi nasi, berakibat sagu yang melimpah di Irian dan Maluku tidak lagi dijadikan pangan utama masyarakat setempat. Saat terjadi bencana alam, bantuan bagi korban bencana juga fokus pada beras dan tepung terigu.

Dengan sentuhan teknologi sesungguhnya, ubi jalar, ubi kayu, talas, jagung, sorgum dapat diolah menjadi makan lezat yang tidak kalah rasanya dari produk olahan tepung terigu.

Salah satunya makaroni ikan. Sementara itu makaroni yang beredar di pasaran saat ini dominan berbahan tepung terigu. Perekayasa Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Renny Primasari berhasil mengembangkan makaroni ikan atau makarina berbahan tepung jagung dan ikan lele. Diperkirakan harga jual makaroni ini ideal dijual Rp 20.000 per kg lebih murah dari makaroni tepung terigu Rp 36.000 per kg.

Selain itu juga dikembangkan surimi atau bahan intermediate untuk nugget dan sosis berasal dari ikan air tawar dari lele dan nila.

"Surimi berasal dari olahan daging lumat, dicuci berulang sehingga darah, lemak dan kotoran tidak ada lagi, kekenyalan yang dihasilkan pun bagus," ujarnya.    

Pengembangan dan komersialisasi produk pangan lokal ini juga telah dikembangkan PT Subafood Pangan Jaya, mitra kerja BPPT yang sukses memproduksi bihun jagung berbahan pati jagung.

Indah menjelaskan pati jagung dihasilkan dari proses penggilingan jagung dan dilakukan ekstraksi basah. Sedangkan tepung jagung dihasilkan dari penggilingan jagung tanpa ekstraksi. Pati jagung dipilih karena rasa yang dihasilkan bihun jagung enak, kekenyalan sempurna dan tahan lama meski tanpa pewarna dan pengawet. [R-15]

No comments:

Posting Populer